Home » Artikel » Petir itu Tiba-Tiba Menyambar Ku, “Sayangi Ayah Mu Nak…”

Petir itu Tiba-Tiba Menyambar Ku, “Sayangi Ayah Mu Nak…”

TIBA-tiba HP ku berdering, setelah menjawab salam, suara di seberang telepon terdengar panik “A… Perut neng kerasa sakit. Sakit banget sepertinya mau melahirkan….”

Aku tidak merespons dengan serius, pasalnya, usia kandungan istri ku baru tujuh bulan dan belum saatnya melahirkan. Aku juga memaklumi kepanikan istriku, soalnya, itu merupakan kehamilannya yang pertama.

“Udah ke bidan aja neng, dianter sama bibi pake taksi,” timpal ku tenang.

Aku pikir, perut istri ku sakit karena dia kebanyakan makan rujak. Maklum, cuaca di bulan Agustus 2013 begitu terik. Jadi, dia sangat doyan makan rujak. Ditambah bawaan hamil.

Selang satu jam kemudian, HP ku kembali berdering. Yang manggil, masih nomor istri ku. Tapi, kali ini, suara di seberang sana bukan isteriku, melainkan Bi Isah, orang yang suka membantu pekerjaan di rumah.

“Maap pak, ibu udah mau melahirkan. Kata bu bidan bapak disuruh cepat ke sini.”

Kaget bercampur tak percaya. Pasalnya, usia kehamilan istri ku masih tujuh bulan. Setahu ku, orang melahirkan biasanya pada usia kehamilan sembilan bulan. Tanpa banyak pertimbangan, aku yang tengah liputan di sebuah tempat, akhirnya cabut ke tempat praktek bidan yang menangani istri ku.

Sesampainya di sana, bidan merujuk isteri ku untuk dibawa ke rumah sakit, karena dia tak mampu menanganinya. Dan singkat cerita, aku pun membawa istri ku ke salah satu rumah sakit di Bandung, yang tak begitu jauh dari tempat praktek bidan itu.

Sampai di rumah sakit, istri ku langsung ditangani medis. Namun tak beberapa lama, dokter memanggil ku dan menanyai terkait kesanggupan operasi. Lagi lagi, tanpa berpikir panjang, aku menyanggupinya. Tapi, saat aku tanya pada istri ku, dia menolak operasi. Dia ingin melahirkan secara normal, seperti ibu-ibu yang lain.

“Aku ingin melahirkan secara normal. Ini yang pertama buat ku. Tolong turuti kemauan ku. Aku pasti kuat kok,” ucap isteri ku.

Akhirnya, proses persalinan pun terjadi. Aku begitu gelisah. Perasaan ku saat itu sangat tidak menentu. Aku pun tak berani masuk ke dalam ruang persalinan untuk menemani istri melahirkan.

Beberapa saat kemudia, suara tangis bayi terdengar. Perasaan ku spontan berubah menjadi bahagia. “Ya Allah terima kasih, anak ku sudah lahir,” guman ku dalam hati.

Dokter pun membuka pintu ruang persalinan dan mempersilahkan aku masuk. Ku lihat bayi mungil, masih merah tengah dibersihkan oleh perawat. Tak lama, bayi itu dibungkus kain dan diserahkan pada ku. Aku pun reflex, ka raih bayi mungil itu, lalu ku adzanin di telinga kanannya.

Usai itu, aku membawa si bayi ke tempat tidur istri ku yang masih terbaring lemas. “Alhamdulillah a, bayi kita normal, cantik lagi,” ucapnya dengan suara pelan.

Aku hanya tersenyum sambil menempatkan bayi ku di samping istriku terbaring. Melihat bayi itu, istri ku kemudian menciuminya, dan berujar,”Maap nak, mamah gak bisa menemani kamu. Jadilah anak baik ya, sayangi selalu ayah mu.”

Mendengar itu, aku tersontak. “Neng, kenapa bilang begitu?” tanya ku.

“Neng gak kuat kuat a. Tolong anter neng dengan lafadz-lafadz Qur’an yang aa hafal,” timpal istri ku.

Dokter dan suster yang ada di sana, seperti yang sudah mengetahui kejadian terburuk akan terjadi. Mereka kemudian menganggukkan kepala, memberi ku isyarat untuk memenuhi permintaan istri ku itu. “Ya..Robb jika memang Engkau menentukan jalan lain aku ikhlas ya Allah…. Mudahkan jalan istriku untuk menghadapmu dengan khusnul khootimah,” guman ku dalam hati.

Tak lama, ku ucapkan kalimat “LAAILAHA ILLALLAH MUHAMMADUR ROSULULLAH..” perlahan aku membimbingnya. Rasanya aku mengerti betul setiap helaan nafasnya, raga kami bagai menyatu. Kuulang hingga berkali-kali dengan helaan nafas yang terirama pelan. Dua bulir bening tersembul dari sudut matanya. Aku merasakan ia sanggup mengikuti kalimat ini, terimakasih ya Allah..!

Jumat, tepat jam 15.00 WIB, istri ku kemudian menghempaskan nafasnya yang terakhir. Meski iklas, namun perasaan tak percaya masih menyelimuti ku. Kutengok layar monitor yang terhubung ke tubuh istriku. Tak ada lagi yang bergerak di sana.

Bagai tersambar petir, kudekap tubuh lemas istriku. Bibirnya menoreh segaris senyum. “INNA LILLAAHI WAINNA ILAIHI ROOJIUUN.” Aku lunglai terduduk di sampingnya, tapi tak ada lagi air mata yang keluar.

“Neng, A ikhlas melepas neng, Allah telah memilihkan jalan terbaik buat kita. Selamat Jalan Istriku…… jemput aku dan anak kita nanti di pintu Surga-Nya”. (bayu sid hidayah)

One comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*