Home » Bandung » Begini Strategi Pemprov Jabar Atasi Polemik UMK 2017

Begini Strategi Pemprov Jabar Atasi Polemik UMK 2017

Begini Strategi Pemprov Atasi Polemik UMK 2017

BANDUNG – Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat Ferry Sofwan mengadakan pertemuan dengan pemerintah kabupaten/kota di Hotel Horison, Jumat (25/11/2016) guna membahas upah minimum sektoral yang bisa meningkatkan besaran ketetapan upah minimum kerja (UMK) 2016 sesuai sektor unggulan setiap daerah.

Upah sektoral ini akan jadi solusi atas masih banyaknya komplain serikat pekerja terkait UMK berbasis PP No 78 Tahun 2015 yang dianggap tidak menghitung kebutuhan hidup layak sebagaimana mestinya. PP tersebut memiliki formulasi berdasarkan tingkat inflasi dan produk domestik bruto, yang mana hal ini disertai pula pertimbangan kenaikan harga yang ada di pasar serta produktivitas pekerja. Dan, kata Ferry, upah sektoral ini didasari PP No. 78 Tahun 2015 yang mendorong pemerintah kab/kota memfasilitasi keinginan para pekerja mengacu pada sektor industri unggulan yang ada di kabupaten/kota.

“PP 78 tahun 2015 ini tidak hanya sekedar UMK provinsi ataupun kabupaten/kota, tetapi ada hal lain. Seperti memfasilitasi keinginan para pekerja agar mendapat upah sektoral. Kita melihat industri unggulan yang ada di tiap daerah. Nanti, tiap daerah dapat mengajukan upah minimum sektoral. Saat ini yang telah dijalankan adalah sektor migas di Kabupaten Indramayu. Itu upahnya lebih besar dari UMK karena ada kekhususan sifat pekerjaan pada sektoral tersebut,” kata Ferry kepada tim Humas Jabar, Jumat (25/11/2016) pagi.

Kebijakan Pemprov Jabar mengenai pengembangan PP No 78 Tahun 2015 ini tinggal menunggu pengajuan pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, pihak pengusaha dan tenaga kerja itu pun harus menemukan titik kesepakatan terkait dengan pengupahan. Maka itu, Pemprov Jabar mendorong teman-teman di kabupaten/kota untuk memfasilitasi pekerja dan pengusaha. Karena mereka harus membahas bipatrit (dua pihak,red) terlebih dahulu.

Kenaikan upah sektoral nantinya dibahas oleh pengusaha dan pekerja. Pengusaha dengan tenaga kerjanya pun harus sepakat. Apabila sudah sepakat, diajukan oleh kabupaten/kota kepada gubernur, maka tinggal diimplementasikan saja di daerah masing-masing.

Penerapan upah minimum sektoral tergantung kesiapan kabupaten/kota dan pembahasan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Per 1 Januari 2017 mendatang upah minimum sektoral sudah dapat dijalankan dengan batas waktu maksimal berdasarkan kesepakatan Agustus 2017 .

“Ditetapkan berlakunya per 1 Januari 2017. Kalaupun nanti diundur misal hingga bulan Maret, nanti bisa dirapelkan sisa uangnya dari bulan Januari tersebut. Paling telat penerapan ini hingga Agustus 2017. Tentu butuh waktu antara temen-temen pengusaha dan serikat pekerja dalam mencapai kesepakatan,” katanya.

Komponen dari PP tersebut tidak hanya terkait formulasi UMK saja, tetapi juga bertujuan dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja di Indonesia. Hal ini berdasarkan lamanya pengalaman bekerja dan tingkat pendidikan, sehingga pekerja merasa lebih dihargai.

“Di PP 78 tahun 2015 juga mendorong penghargaan khusus dari sisi profesionalisme pekerja dengan diterapkannya struktur dan skala upah. Tentu mereka yang bekerja 0-1 tahun mendapatkan upah berbeda dibandingkan yang telah berpengalaman bekerja lima tahun misalnya. Begitu pula tingkat pendidikan. Mereka yang lulusan SMA dan telah bekerja selama lima tahun akan berbeda dengan lulusan D3, meski masa kerjanya sama. Jadi, sebetulnya ini untuk mendorong kualitas mereka dan menghargai kompetensinya,” ujarnya.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat kini terus melakukan upaya sosialisasi bahwa PP 78 tahun 2015 tidak hanya seputar UMK. Terdapat beberapa hal yang perlu dipahami seperti struktur dan skala upah serta upah sektoral. “Kami terus melakukan upaya sosialisasi dengan mengaktifkan teman-teman di kabupaten/kota, juga Apindo bahwa UMK bukan satu-satunya hal yang menjadi perhatian. Ini harus disosialisasikan kepada anggota serikat pekerja. Sebetulnya pengurus serikat pekerja, sebagian besar sudah pada tahu. Semoga saja komunikasi ke bawahnya berjalan dengan baik,” katanya.

Menurut dia, ada formulasi di PP 78 tahun 2015 untuk perhitungan upah minimum kabupaten/kota ataupun provinsi. Dua indikatornya adalah angka inflasi dan produk domestik bruto. Inflasi diperhitungkan dalam rangka mengestimasi kenaikan harga dan produk domestik bruto untuk menghargai produktivitas pekerja.

Untuk perhitungan inflasi sejak September 2015 sampai September 2016, keluar angka inflasi sebanyak 3, 07 %. Sementara produk domestik bruto dihitung dari triwulan 3 dan 4 tahun 2015 hingga triwulan 1 dan 2 pada tahun 2016 keluar angka 5,18%. Dari kedua indikator tersebut, digabungkan menjadi presentase kenaikan upah sebesar 8,25%. Sekalipun serikat pekerja terus menuntut diperbaikinya perhitungan KHL. Namun, kebijakan dari pemerintah pusat sendiri yang mengharuskan KHL harus disurvey untuk revisi dengan waktu 5 tahun sekali.

“Penetapan komponen KHL itu memang harus dievalusasi 5 tahun sekali. Hal ini tercantum dalam PP 78 tahun 2015. Apa yang dilakukan oleh Provinsi Jabar dan rekan-rekan di kabupaten/kota masih belum klop dengan keinginan serikat pekerja. Padahal peraturan ini diturunkan dari Presiden, kemudian kepada Menteri tenaga kerja. Di sisi pemerintah provinsi, itu tidak mungkin diubah sebelum ada pergantian peraturan yang baru. Jadi, kita melaksanakan berdasarkan peraturan sekarang,” jelasnya.

Memperhatikan perhitungan BPS Jabar, presentase kenaikan UMK sudah dapat memenuhi kebutuhan hidup pekerja di kabupaten/kota.
Karena menurut perhitungan BPS, kenaikan harga yang telah disurvey di kabupaten/kota di Jabar dalam bentuk KHL, relatif lebih kecil dibandingkan penetapan angka inflasi nasional.

Laju pertumbuhan produk domestik bruto di Jawa Barat memang lebih tinggi sedikit dari angka nasional, tetapi tidak terlalu besar. Maka, dari 8,25 persen kenaikan UMK tersebut, mereka mendapat upah layak sebagai kompensasi kenaikan harga di pasar. Di samping ketetapan dari pusat, Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, yakni dengan memberi permukiman yang layak.

“Pemprov telah membangun apartemen sewa di Kabupaten Bandung, di sekitar kawasan Kec Rancaekek dan Kec Solokan Jeruk. Di situ ada sistem sewa untuk pekerja lajang, pekerja berkeluarga dan beberapa ketentuan lainnya yang tentu dengan harga sewa yang terjangkau,” katanya. (jp/rls)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*