MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim mengizinkan pemerintah daerah untuk memulai kembali kegiatan belajar tatap muka di sekolah di seluruh zona mulai Januari 2021.
Hal tersebut diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi covid-19.
Nadiem sekaligus menegaskan keputusan pembukaan sekolah tatap muka usai hampir 8 bulan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) ini akan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua melalui komite sekolah.
Ia pun menegaskan, orang tua masing-masing siswa dibebaskan untuk menentukan apakah anaknya diperbolehkan ikut masuk sekolah atau tidak. Sekalipun, sekolah dan daerah tertentu telah memutuskan untuk membuka kembali kegiatan belajar tatap muka.
Kendati demikian, sejumlah orang tua masih meragukan keputusan Nadiem itu. Mereka pun mempertanyakan risiko keamanan dan keputusan Nadiem yang memberikan kewenangan pembukaan kepada Pemda. Seperti yang diutarakan Indhi (34), ibu dari siswa kelas VIII di Kab Çirebon ini mengaku tak akan mengizinkan anaknya sekolah jika pun sudah dibuka Januari 2021.
“Kalau risiko emang dia mau jamin? Aku pasti lihat dulu kondisi di sekolah. Bisa dijamin nggak pemda itu, kalau terjadi sesuatu dia mau jamin nggak?,” ungkapnya, Kamis (26/11/2020)
Ia tak percaya kegiatan di sekolah dapat berjalan aman dan mematuhi protokol kesehatan dengan ketat. Ia bahkan mengaku tak begitu berharap dengan vaksin Covid-19.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Juju Juleha (36), ibu dari Asfa Kelas 4 SD ini menilai keadaan pandemi corona di Indonesia belum memungkinkan untuk menerapkan pembelajaran tatap muka. Terlebih untuk anak jenjang PAUD dan SD.
“Jangan karena orang sudah capek, bosen, kelamaan terus dilonggarkan. China saja waktu itu turun [kasusnya] boleh sekolah, kerja terus sekarang fase dua. Indonesia fase satu saja belum turun-turun. Terus terang saya masih ngeri untuk kembali menyekolahkan anak saya,” terangnya.
Pernyataan berbeda disampaikan salah satu pengajar di Kabupaten Cirebon yakni Khanafi. Menurutnya sekolah tatap muka sudah layak dengan catatan tetap menerapkan secara ketat protokol kesehatan. Mengingat pembelajaran dengan sistem daring ditemukan banyaknya kendala yang dihadapi para pengajar.
“Saya menilai pembelajaran dengan daring kurang mengena dan kurang begitu efektif, terlebih khusus untuk para guru honorer penghasilannya menjadi berkurang bahkan sampai setengahnya. Adapun untuk menyiasati agar tidak terjadi kerumunan siswa maka bisa dilakukan dengan sistem kelompok,” ujarnya. Kendati demikian ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah terkait regulasi yang nantinya akan diterapkan guna mencegah terjadinya klaster baru.
Ini Kata KPAI..
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melalui Komisioner KPAI Retno Listyarti menyatakan masih banyak sekolah yang belum siap secara protokol kesehatan dalam penerapan kembali pembelajaran tatap muka.
Ketidaksiapan itu berangkat dari survei atau tinjauan terhadap 48 sekolah di 8 provinsi dan 20 kabupaten kota sejak 15 Juni hingga 19 November lalu. Namun demikian KPAI tak menyebut angka mayoritas tersebut.
Retno pun mengaku tidak setuju beban menyiapkan infrastruktur pembelajaran tatap muka di sekolah hanya diserahkan ke Pemda. Menurut dia, selain pemerintah daerah, pemerintah pusat juga harus fokus pada upaya penyiapan infrastruktur, sosialisasi protokol kesehatan, dan kerja sama dinas pendidikan dan satuan tugas Covid-19.
“Menyerahkan kepada Pemerintah Daerah tanpa berbekal pemetaan daerah dan sekolah yang dapat dikategorikan siap dan belum siap, menurut saya bentuk lepas tanggung jawab,” kata Retno.
“Jika sekolah belum mampu memenuhi infrastruktur dan protokol/SOP maka tunda dulu buka sekolah,” imbuhnya.
Selain itu, lanjut Retno, bila pemda mengizinkan sekolah dibuka. Maka KPAI juga mendorong agar pelaksanaan belajar tatap muka diiringi dengan tes swab masif bagi seluruh tenaga pendidik, termasuk siswa yang dapat dilakukan secara acak. Tes dilakukan dengan menggunakan anggaran APBD dan APBN.
Di sisi lain, ia menambahkan, sepanjang pengawasan KPAI, Retno bilang status zona terus berubah secara dinamis, begitu pula buka tutup sekolah. Oleh sebab itu, ia mendorong pembukaan sekolah tidak mengacu pada status zona daerah, melainkan kesiapan sekolah.
Begini Kata Epidemolog..
Sementara itu, rencana pemerintah untuk membuka kembali sekolah tatap muka pada Januari 2021 mendatang juga menjadi perhatian Epidemiolog dan dinilai ‘prematur’. Indonesia dianggap belum siap untuk menggelar proses pembelajaran tatap muka, mengingat kasus Covid-19 yang belum juga membaik.
Epidemiologi Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan bahwa sebaiknya pemerintah memaksimalkan pengendalian kasus terlebih dahulu kurang lebih selama tiga bulan. Hasil yang ada kemudian dapat digunakan untuk membuat keputusan soal kebijakan pembukaan sekolah tatap muka.
Dicky menyebutkan tiga kriteria yang harus dipenuhi sebelum membuka kembali sekolah tatap muka. Pertama, penurunan kasus harian dalam dua pekan berturut-turut. Kedua, tren penurunan kasus yang dibarengi dengan angka positivity rate di bawah 5 persen.
Ketiga, tingkat kematian akibat Covid-19 harus menyentuh satu digit setiap hari. Jika ketiga syarat itu terpenuhi, Dicky menilai pemerintah baru bisa mempertimbangkan sekolah tatap muka. Hal ini juga tentu harus dibarengi dengan implementasi protokol kesehatan yang tepat.
Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo juga mengatakan perizinan untuk membuka sekolah dengan proses belajar tatap muka berpotensi menambah kasus Covid-19 hingga memunculkan klaster sekolah.
Ia juga menilai pemberian izin pada pemerintah daerah untuk membuka sekolah tatap muka merupakan bukti bahwa pemerintah mengesampingkan faktor kesehatan masyarakat pada masa pandemi.
Menurut Windhu semestinya pembukaan kegiatan apapun pada masa pandemi harus melihat pada faktor-faktor epidemiologi di suatu daerah. Dalam ilmu epidemiologi, jika daerah tersebut menunjukkan tingkat risiko penularan tinggi, maka harus dilakukan pembatasan aktivitas masyarakat.
“Ini yang menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah memang tidak konsisten dan tidak berbasis pada kesehatan masyarakat, seharusnya pertimbangan pembukaan kegiatan apa pun yang memungkinkan kontak antar warga, termasuk siswa sekolah, didasarkan atas kondisi epidemiologi,” pungkas Windhu. (red/jp/dbs)