Home » korupsi » Ibarat Merampok Ditengah Bencana, Jika Napi Korupsi Dibebaskan Gara-gara Corona

Ibarat Merampok Ditengah Bencana, Jika Napi Korupsi Dibebaskan Gara-gara Corona

JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, sepakat dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, yang akan membebaskan 300 lebih narapida korupsi dan narkotika dari dalam Lembaga Pemasyarakatan.  

Menurut Ghufron, langkah yang diambil Menteri Yasonna adalah hal positif. Ini sebagai upaya pencegahan penyebaran virus korona atau Covid-19 di dalam lapas. Peningkatan kasus sangat mungkin terjadi karena kepasitas yang ada di lapas sudah lebih dari 300 persen.

“Kami menanggapi positif ide Pak Yasonna sebagai respons yang adaptif terhadap wabah Covid-19, mengingat kapasitas pemasyaratan kita telah lebih dari 300 persen. Sehingga penerapan sosial distance untuk warga binaan dalam kondisi saat ini tidak memungkinkan, mereka sangat padat sehingga jaraknya tidak memenuhi syarat pencegahan penularan Covid-19,” kata Ghufron, Kamis, 2 April 2020.

Ghufron menilai, wacana pembebasan 300 narapidana korupsi merupakan pertimbangan kemanusiaan. Namun begitu, apa yang diwacanakan Menteri Yasonna harusnya diawali dengan adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

“Itu semua harus dengan perubahan PP 99/2012 tersebut yang berperspektif epidemi. Namun juga tidak mengabaikan keadilan bagi warga binaan lainnya dan aspek tujuan pemidanaan,” ujarnya.

Ghufron menjelaskan bahwa bukan berarti dirinya mendukung napi korupsi dibebaskan. Namun, hal ini adalah bentuk waspada terhadap penularan virus korona atau Covid-19. Namun, harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan, sehingga diperlukan upaya untuk menekan penyebaran Covid-19.

“Mekanismenya bagaimana adalah ranah kemenkumham itu, yang penting tidak mengenyampingkan tujuan pemidanaan dan adil,” kata Ghufron.

Karena itu, Ghufron memandang wacana itu sebagai bentuk empati kemanusiaan terhadap narapidana. Langkah itu dinilai tepat agar warga binaan ini bisa terhindar dari wabah corona.

“Saya garis bawahi asal tetap memperhatikan aspek tujuan pemidanaan dan berkeadilan. Ini kan bukan remisi kondisi normal, ini respons kemanusiaan, sehingga kacamata kemanusiaan itu yang dikedepankan,” katanya. 

Sebelumnya Kemenkumham berencana membebeskan banyak narapidana guna menekan angka penyebaran covid-19. Termasuk napi korupsi dan narkotika. Namun terganjal dengan PP 99/12, karena itu akan direvisi.  

Dengan revisi tersebut, akan ada narapidana dengan sejumlah kriteria yang akan dikeluarkan, antara lain narapidana kasus narkotika yang dihukum 5-10 tahun penjara dan telah menjalani 2/3 masa hukumannya.

Kemenkumham juga akan membebaskan narapidana kasus korupsi yang telah berusia lebih dari 60 tahun yang telah menjalani 2/3 masa tahanannya. Diperkirakan ada 300 orang yang akan dibebaskan dari dua perkara itu.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkirik tajam rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laloly, yang akan membebaskan para koruptor dengan dalih untuk mencegah penularan Corona COVID-19 di lapas.

Rencana itu akan dilakukan dengan Merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur menilai rencana pembebasan napi koruptor yang digagas Yasonna, laiknya merampok di tengah kondisi bencana Corona.

“Ini semacam ‘merampok di saat suasana bencana,’ kira-kira gitu. Dia masuk, menyelinap di tengah kepentingan yang berbahaya,” kata Isnur dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis, 2 April 2020.

Menurut Isnur, rencana tersebut bertentangan dengan landasan berfikir memberikan efek jera terhadap koruptor yang dibangun oleh UU. 

Pertama, tindak pidana korupsi (tipikor) tergolong kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. “Jadi sekarang seolah dihapus bahwa korupsi kejahatan yang biasa. Jadi, dia menyamakan maling ayam dengan maling uang negara, uang rakyat. itu yang bahaya,” ujarnya 

Kedua, rencana tersebut bertentangan dengan putusan uji materi yang dilayangkan oleh OC Kaligis, dan Surya Dharma Ali ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 silam.

“Oce Kaligis, SDA, pernah menguji Pasal 14 ayat (1) huruf i UU 65 tentang pemasyarakatan. Intinya mereka berpendapat bahwa, pembatasan remisi di PP itu diskriminatif, dan MK menyatakan itu bukan tindakan diskriminatif,” kata Isnur. (dbs)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*