Oleh: Dr. Priyanto Rahardjo, M.Sc.
Ketua Program Studi Pemanfaatan Suberdaya Perikanan,
Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Perikanan (STP), Jakarta.
Kelestarian sumberdaya ikan dan kesejahteraan nelayan bagaikan dua sisi dalam satu keping mata uang logam, jika satu sisinya hilang maka uang logam tersebut tidak mempunyai nilai. Pada awal tahun 2015, Menteri Susi Pudjiastuti menetapkan peraturan yang bermuatan kelestarian sumberdaya ikan dan tentu dalam jangka panjang menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat nelayan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/2015 yang memuat pembatasan penangkapan ukuran lobster, kepiting, dan rajungan yang bertelur, karena dianggap keberadaan, ketersediaan dan populasinya telah mengalami penurunan di perairan Indonesia. Peraturan positif yang bertujuan mencegah terjadinya pengurangan, bahkan bisa jadi kemusnahan jenis biota tertentu ini, mengalami reaksi dari pelaku bisnis yang bergerak dalam lobster, kepiting dan rajungan. Hasil kajian Sekolah Tinggi Perikanan (STP) April 2015, menunjukan bahwa reaksi tersebut tidak dapat dianggap mewakili semua pihak yang begelut pada bisnis ini, para nelayan yang mempunyai mata pencaharian biota ini, menyadari betul perlunya pengelolaan yang baik agar anak cucu mereka juga dapat menikmati sumbedaya laut ini dikemudian hari. Secara akademis dan ilmiah keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/ 2015 ini sudah tepat waktu dan benar. Kebijakan pembatasan ukuran biota laut, untuk keberlanjutan dan kelestarian biota tersebut sudah banyak dilakukan di berbagai negara, dan hasil dari kebijakan tersebut telah dirasakan oleh para pihak pemangku kepentingan di berbagai negara tersebut.
Hasil kajian ilmiah dari University of British Columbia (UBC) in Vancouver, Canada pada Maret 2015, menujukan dengan jelas bahwa kondisi sumberdaya ikan laut dunia sangat kritis. Hasil kajian UBC juga menjelaskan bahwa jumlah tangkapan ikan di Senegal ternyata empat kali lebih besar dibandingkan laporan FAO, akibatnya kondisi perikanan dunia saat ini diduga sudah sangat kritis (UBC is sounding the alarm over global fish harvests). Hasil kajian ini sangat mengejutkan dunia perikanan, tetapi sampai saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang dapat menolak kajian UBC tersebut. Data perikanan yang dipublikasi FAO saja ternyata masih jauh dibawah realitas tangkapan, maka yang menjadi pertanyaan kita bersama adalah berapa tingkat kebenaran data statistik perikanan Indonesia?. Pelajaran apa yang dapat ditarik dari kondisi kritisnya sumberdaya ikan dunia bagi perikanan Indonesia? Apa dampak dari keadaan kritisnya kondisi sumberdaya ikan dunia? Jawabanya sudah pasti adalah berbagai bisnis perikanan internasional akan mengincar perairan Indonesia yang dianggap masih memiliki sumber cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia. Untuk itulah pentingnya pengaturan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara tegas seperti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/2015, yang tentunya harus diimbangi dengan implementasi penegakan hukum secara tegas.
Selanjutnya, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015 mengenai larangan penggunaan alat penangkap ikan pukat hela dan pukat tarik, dengan dasar pertimbangan menyebabkan penurunan sumberdaya ikan dan mengancam kelestarian lingkungannya. Peraturan ini ternyata mendapat reaksi yang sangat besar pada nelayan tradisional di kawasan pantai utara Jawa (Pantura), terutama yang menggunakan pukat tarik cantrang. Hasil investigasi di lapangan dari STP sampai bulan April 2015, menjelaskan bahwa maraknya reaksi terhadap pelarangan cantrang disebabkan tiga hal.
Pertama, besarnya populasi nelayan tradisional yang menggunakan jenis pukat tarik tersebut. Sebagaimana diketahui, populasi nelayan tradisional negeri ini banyak terkumpul di kawasan Pantura. Nelayan cantrang Pantura telah memodifikasi alat tangkap ini sehingga menjadi alat tangkap yang memberikan hasil paling banyak dengan biaya yang relatif lebih rendah dari alat tangkap lain, maka pemilik kapal atau pengusaha banyak menggunakan alat ini. Misalnya di Jawa Tengah, tercatat 46,75 % menggunakan alat cantrang. Di pelabuhan perikanan Juana, Jawa Tengah, juga sekitar 44,51 % menggunakan cantrang. Walaupun di Pantura memang ada variasi, seperti di pelabuhan Pekalongan tidak terdapat penangkap ikan menggunakan cantrang, tetapi di lokasi tetangganya seperti pelabuhan Batang tercatat 93,83 % memakai cantrang.
Kedua, waktu penerapan pelarangannya dianggap terlalu mendadak, dan selama ini dirasakan oleh nelayan tidak terdapat pelarangan. Para pengusaha telah mengeluarkan modal ratusan juta rupiah untuk investasi satu unit cantrang, bahkan banyak yang mengambil dari kredit bank, dan tentu harus dikembalikan. Sedangkan peralihan penggunaan ke alat tangkap lain juga memerlukan modal lagi yang harus di keluarkan. Selain itu, nelayan yang mengoperasikan alat baru, membutuhkan waktu untuk pelatihan atau pemagangan pada pengguna alat yang perlu dipelajari. Ketiga, pelarangan alat cantrang berkaitan juga dengan nasib atau mata pencaharian anak buah kapal atau nelayan yang juga memiliki keluarga. Jumlah alat cantrang di Jawa Tengah tahun 2015 mencapai10.788 unit, jika masing-masing kapal cantrang memiliki anak buah 10 orang, maka terkait dengan nasib 1.788.000 keluarga nelayan.
Hasil kajian Universitas Brawijaya yang dipublikasikan bulan Maret 2015 terhadap kebijakan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015 mengenai larangan penggunaan alat penangkap ikan pukat hela dan pukat tarik, menyimpulkan bahwa kerugian ekonomis dan dampak sosial diduga cukup tinggi akibat kebijakan ini, dan tidak mampu diatasi oleh pemeritah saja. Hasil kajian ini masih perlu di uji kebenarannya, mengingat kajian ini hanya berdasarkan keputusan pakar (expert judgement), bukan berdasarkan analisis data di lapangan.
Solusi jangka pendek yang menyangkut dilema pelarangan cantrang dapat dipilih tiga alternatif. Pertama, para pengusaha atau pemilik kapal yang beralih dari alat cantrang mendapat fasilitas pinjaman modal berbunga sangat rendah, atau tanpa bunga. Alternatif Kedua adalah memberi jedah waktu perubahan alat, misalnya selama setahun, agar pemilik cantrang dapat menggunakan keuntungannya untuk modal membeli alat tangkap lain yang baru, serta melatih anak buah kapalnya. Untuk menghidari terjadinya penyimpangan konsitensi pelaksanaan, kepada para pemilik kapal cantrang diwajibkan menandatangani perjanjian berkekuatan hukum, jika dilanggar maka pemilik kapal wajib membayar denda kepada negara dengan nilai cukup besar. Ketiga adalah melaksanakan keputusan secara konsisten di semua wilayah NKRI, diikuti dengan penegakan hukum yang tegas, mengingat reaksi yang tejadi bersifat spasial dan temporal. Diprediksi reaksi sebahagian nelayan pengguna cantrang akan hilang bersamaan dengan pulihnya suberdaya ikan yang dinikmati nelayan. Dengan demikian, melalui keputusan yang diterapkan secara bijak, tujuan pelestarian sumberdaya ikan dapat tercapai, tanpa mengusik kesejahteraan para nelayan, seperti dua sisi dalam satu keping mata uang logam yang mempunyai nilai manfaat tinggi.