PEKAN lalu, santer diberitakan di berbagai media lokal Cirebon, seseorang/sekelompok orang, dengan berpanjikan sebuah organisasi kemasyarakatan (ormas) tertentu, menurunkan bendera merah putih yang tengah berkibar di tiang bendera di halaman sebuah sekolah dasar, sebelum kemudian menaikkan bendera ormas mereka menggantikan sang merah putih.
Penulis termasuk salah seorang yang merasa prihatin dan menyayangkan tindakan di atas. Namun sebelum men-judge para pelakunya sebagai pihak yang terkategori makar atau kudeta, sebaiknya mari pahami terlebih dahulu arti kata yang selama ini berkonotasi cukup “menyeramkan” itu dalam konteks hukum positif Indonesia.
Hukum Indonesia memang mengenal istilah makar. Tindak pidana makar termasuk ke dalam rumpun kejahatan terhadap keamanan Negara. Secara teoritis, makar yang dikenal oleh umum adalah makar yang ditujukan ke dalam negeri yang dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu makar terhadap keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, terhadap wilayah Negara, dan terhadap pemerintahan. Ketiga perbuatan ini diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bentuk tindak pidana yang tepat dalam konteks kudeta adalah makar untuk menggulingkan pemerintahan seperti yang diatur dalam Pasal 107 KUHP yang berbunyi: (1) Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. (2) Para pemimpin dan pengatur makar tersebut dalam ayat 1, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.
Makar dalam rumusan delik ini adalah penggantian pemerintahan dengan cara yang tidak sah yang tidak berdasarkan saluran yang ditetapkan dalam undang-undang. Oleh karena itu, tindak pidana makar baru dapat dikenakan apabila memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 87 KUHP, yang menegaskan bahwa tindak pidana makar baru dianggap terjadi apabila telah dimulainya perbuatan-perbuatan pelaksanaan dari si pembuat makar.
Jika merujuk pada berita-berita di media massa beberapa hari lalu, tindakan menurunkan bendera merah putih dan menggantinya dengan bendera ormas yang dilakukan sekelompok orang di wilayah Kec. Kedawung, Kab. Cirebon itu, menurut hemat penulis terlalu berlebihan bila dikategorikan makar. Namun demikian bukan berarti ulah mereka tidak menyalahi hukum.
Sebab Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, khusunya Pasal 66 berbunyi: Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara, dipidana dengaen pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pertanyaannya, apakah tindakan orang/sekelompok orang yang menurunkan bendera merah putih yang menjadi topik diskusi kita kali ini sudah cukup memenuhi unsur-unsur yang diatur dalam pasal tesebut? Tentu hal itu membutuhkan pembuktian melalui serangkaian proses hukum. Wallahua’alam.
Penulis: Diding Karyadi, Pengamat Hukum dari Cirebon – Jawa Barat