KISRUH Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah Bantar Gebang antara Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi harus jadi momen perbaikan menyeluruh. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher), mengatakan pihaknya tidak/belum ikut campur menangani masalah tersebut karena Bantar Gebang menyangkut perjanjian otonom.
“Itu perjanjian lama dari Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi yang keduanya otonom, punya kendali sendiri yang tidak terkait dengan otoritas Pemprov Jabar. Kami pun belum menerima bantuan Bekasi untuk bantu terlibat menyelesaikan, jadi posisi kami pasif saja,” katanya di Surabaya, Jumat (6/11) malam.
Saat Aher menjadi Wakil Ketua DPRD Provinsi Jakarta sekira 10 tahun silam, yakni ketika era kepemimpinan Gubernur DKI Sutiyoso, polemik Bantar Gebang sudah terjadi. Karena tak kunjung tuntas, di era Gubernur Jokowi dan kini Basuki Tjahja Purnama (Ahok) pun terus terjadi. Menurut dia, kisruh tersebut sebaiknya menjadi momentum agar penanganan sampah bisa lebih baik dan modern. Minimal menghindari pola konvensional yakni open dumping (sampah lama terus ditimbun tanah) menuju sanitary landfill (pengolahan sampah menjadi bahan produksi).
Di sisi lain, penolakan warga atas pengelolaan TPA konvensional juga makin menguat atas dampak sosialnya yang timbul. Hal ini membuat Pemprov DKI pun tak bisa serta merta menggunakan lahan miliknya untuk calon TPA di Tanggerang karena ada penolakan warga. “Jelas adanya, dalam UU persampahan, sampah itu memang urusan kota dan kabupaten tapi Pemprov diberi kewenangan membuat TPA Regional yang menampung sawah beberapa kota dan kabupaten sekaligus. Kami akan coba bangun dan perlihatkan TPA sampah modern,” katanya.
Aher menyebutkan, pihaknya dalam proses menentukan pemenang lelang dua tempat sampah regional yang berada di Legoknangka, Kabupaten Bandung serta Nambo, Kabupaten Bogor. Keduanya ditargetkan memperoleh pemenang di akhir November nanti.
Bahan Semen
Di Nambo yang akan menampung sampah dari Bogor, Bekasi, dan Depok, rencananya akan diterapkan teknologi pengolahan sampah waste to energy. Yakni sampah diolah sehingga menjadi bahan bakar non fosil untuk pabrik semen nasional, PT Indocement, di kawasan Cibinong, Bogor. “Selama ini bahan bakar produksi Indocement itu masih solar, bahan bakar fosil. Non fosil, terutama biomass, baru 4%-an. Dengan pengolahan sampah ini, Indocement bisa tingkatkan hingga 10-25% karena bahan baku biomass melimpah,” katanya.
Menurut perhitungannya, harga biomass TPA Nambo bersifat ekonomis karena bea pengolahan lebih rendah dibandingkan harga jual TPA ke Indocement. Pun demikian, belum ada skema serupa yang komersial dan bisa diterapkan di Legoknangka, Kabupaten Bandung. “Kita harus bertekad punya TPA seperti di negara maju semacam Singapura. Petugasnya saja berdasi karena pengolahan sudah demikian modern. Kalau lewat pabrik tersebut tidak terlalu bau, proses pengangkutan selalu di malam hari, dan hasilnya pun ekonomis,” katanya, seraya mengatakan mengatakan dampak sosial lingkungan selalu menjadi tantangan terbesar. (jay/rls)