Home » Bandung » Simak Serunya Konseling Pendidikan Inklusi dan Parenting Islami Berbasis Masjid di Pusdai

Simak Serunya Konseling Pendidikan Inklusi dan Parenting Islami Berbasis Masjid di Pusdai

Bulan Ramadan biasanya identik dengan ritual kegiatan mengaji dan sholat tarawih serta persiapan mudik, kue serta baju lebaran..Ritual ini sebaiknya harus dicermati sebagai pola pikir yang salah dalam pengasuhan dan pendidikan anak pada khususnya dan keluarga muslim pada umumnya.

Sebenarnya bulan Ramadan adalah proses ketakwaan dengan mengaplikasian ketauhidan sosial dengan kata lain menjunjung tinggi program-program kemanusiaan yang merupakan salah satu proses ketakwaan dan pensucian diri bagi ummat muslim.Dimana selama 30 hari dalam setahun akan dijadikan bahan evaluasi apa yang telah diperbuat selama 11 bulan yang telah lalu. Namun kebanyakan kaum muslimin membaca al-Qur`an dengan tidak memahami apa yang mereka baca, dan semua perilakunya bertolak belakang dengan contoh Rasulullah SAW. Hal ini tampak jelas dengan apa yang terjadi di sekeliling kita saat bulan Ramadan tiba.

Melihat betapa pentingnya ketauhidan sosial harus diaplikasikan dalam kegiatan yang nyata di area masjid bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Maka telah disepakati bersama dengan potensi pendidikan inklusi di Kecamatan Cibeunying Kota Bandung yaitu “Rumah Autis” pimpinan Djulaiha Rukmana yang juga Ketua Umum LSM Bina Eka Lestari yang bergerak di 3 bidang, yakni  Penelitian Pendidikan Inklusi, Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan 2016 – 2019 bekerja sama dengan Perpustakaan PUSDAI setelah berkoordinasi dengan Hendy Hermawan akan dilakukan kegiatan rutin Konseling Pendidikan Inklusi dan Parenting Islami Berbasis Masjid.

“Pengaktifan Pusat Konseling Masyarakat Berbasis Masjid ini salah satunya untuk melakukan sosialisasi ‘EDUCATION FOR ALL’ dengan mengusung implementasi UU Disabilitas 2016,” ujar Kepala Perpustakaan PUSDAI Hendy Heryawan.

Didukung oleh para relawan Kesehatan Jiwa Islami dari mahasiswa Fak Ushuluddin Jurusan Tasawuf Psikoterapi bimbingan Ibu Yulianti.,S.Psi.I., M.Pd.,M.M.Pd juga perwakilan Mojang dan Jajaka Jawa Barat. Kemitraan yang dilakukan dengan mengusung saling gotong royong antar kecamatan ini sangat efektif untuk menyeimbangkan kegiatan “hit and run” yang sudah sering dilakukan beberapa lembaga dan berdampak tidak baik bagi citra pemerintah jika hal tsb dilakukan oleh organisasi non struktural yang mengundang dan mengatas namakan pemerintah juga lembaga yang berkaitan dengan urusan Pelayanan Dasar Sosial di Jawa Barat.

Undang-Undang Penyandang Disabilitas yang diusung oleh Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ledia Hanifa Amaliah ini masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, bagi pemerintah. Undang-Undang tersebut memerintahkan 14 peraturan pemerintah, dua peraturan presiden dan satu peraturan menteri. Peraturan yang diperlukan antara lain tentang penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan, pendidikan maupun rumah aman dan pemberian insentif serta penghargaan bagi perusahaan swasta, badan hukum maupun individu yang memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.

“Peraturan tentang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, permukiman, pelayanan publik, kebencanaan, habilitasi dan rehabilitasi, pemberian konsesi serta kartu penyandang disabilitas,” timpal Kabid Kesbak Badan Kesbangpol Jawa Barat Drs Dani D. Margani.

Pembuatan peraturan-peraturan turunan itu perlu pengawalan serius dari masyarakat sipil terutama untuk memastikan substansinya menggunakan pendekatan berbasis hak dan sejalan dengan Undang-Undang Penyandang Disabilitas.

Adapun pihak dari kementerian yang bertanggung jawab dalam implementasi UU Disabilitas diantaranya: Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi, serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Selain itu, diwakili pula oleh Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kementerian Pariwisata.

Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Salah satu kelompok yang paling tereksklusi dalam memperoleh pendidikan adalah siswa penyandang cacat. Tapi ini bukanlah kelompok yang homogen. Sekolah dan layanan pendidikan lainnya harus fleksibel dan akomodatif untuk memenuhi keberagaman kebutuhan siswa. Mereka juga diharapkan dapat mencari anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan.

A. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

Pengelompokan anak berkebutuhan khusus dan jenis pelayanannya, sesuai dengan Program Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Tahun 2006 dan Pembinaan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan adalah sebagai berikut :

1. Tuna Netra

2. Tuna Rungu

3. Tuna Grahita: (a.l. Down Syndrome)

4. Tuna Grahita Ringan (IQ = 50-70)

5. Tuna Grahita Sedang (IQ = 25-50)

6. Tuna Grahita Berat (IQ 125 ) J. Talented : Potensi bakat istimewa (Multiple Intelligences :

Language, Logico mathematic, Visuo-spatial, Bodily-kinesthetic, Musical, Interpersonal,

Intrapersonal, Natural, Spiritual).

13. Kesulitan Belajar (a.l. Hyperaktif, ADD/ADHD, Dyslexia/Baca, Dysgraphia/Tulis,

Dyscalculia/Hitung, Dysphasia/Bicara, Dyspraxia/ Motorik)

14. Lambat Belajar ( IQ = 70 –90 )

15. Autis

16. Korban Penyalahgunaan Narkoba

17. Indigo

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.

“Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak –anak difabel dengan anak – anak non-difabel,” kata Dani D. Margani. (jp)

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*