Home » Artikel » Waspada!! NKRI Darurat Bencana Kesehatan Fisik & Mental

Waspada!! NKRI Darurat Bencana Kesehatan Fisik & Mental

Waspada!! NKRI Darurat Bencana Kesehatan Fisik & Mental

ARTIKEL ini ditulis dalam rangka menyambut Bulan Kesehatan Jiwa Sedunia 2016 (10 Oktober) dan merupakan irisan implementasi UU No 18 Kesehatan Jiwa tahun 2014 dan UU No 8 ttg Penyandang Disabilitas 2016 – Legislasi diajukan oleh DPR-RI.

Oleh P. Amalia Siregar
MENURUT Konvensi Hak Anak dan Kovensi Hak Penyandang Disabilitas, seluruh anak punya hak untuk mendapatkan standar kesehatan yang tinggi. Dengan demikian, anak penyandang disabilitas sama-sama berhak untuk mendapatkan perawatan secara penuh,  mulai dari imunisasi sewaktu bayi sampai pada gizi yang baik dan pengobatan untuk penyakit  hingga  informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dan seksual yang menjadi stigma selama masa remaja dan terlupakan saat menginjak dewasa.

Belum lagi beranjak mengkaji  implementasi seluruh undang-undang negara diarea  kebijakan pemerintah provinsi, kota dan kabupaten tentang  pentingnya pelayanan dasar seperti air bersih, sanitasi dan kebersihan (WASH).Akuntabilitas implementasi irisan seluruh UU NKRI diarea masalah keadilan sosial dan masalah menghargai martabat seluruh umat manusia masih jauh dari butir-butir PANCASILA , apalagi memperhatikan  investasi untuk masa depan Generasi Penerus  Bangsa.  Pelaksana Eksekutif OPD dan SKPD di NKRI ini masih SANGAT  ABAI  melakukan pelayanan sosial dasar guna mencapai pertumbuhan anak secara sehat;  kebijakan dan penerapan program yang saling mengunci dan berjalan sendiri – sendiri adalah darurat bencana kesehatan jiwa para pelayan publik di  NKRI ini dan pastinya akan menghambat tumbuh kembang anak untuk dapat mencapai peran orang tua yang lebih cerdas dan berbobot kelak dikemudian hari.

Di antara intervensi kesehatan publik yang efektif, imunisasi merupakan komponen utama dari usaha global untuk mengurangi penyakit dan kematian anak. Semakin banyak anak-anak dibandingkan sebelumnya yang bisa dijangkau, tapi anak-anak penyandang disabilitas masih belum memperoleh manfaat dari peningkatan cakupan pelayanan kesehatan terapi secara kontinyu guna mengejar kemandiriannya kelak saat dewasa. Termasuk anak-anak dalam kebijakan  imunisasi tidak hanya berdasarkan  etika kedokteran tapi juga wajib untuk melakukan pengurangan risiko bencana kesehatan masyarakat  dan meningkatkan kesetaraan cakupan universal yang belum  dicapai jika penyandang disabilitas tetap dikucilkan dan dijadikan objek oleh para pelayan kesehatan.

Meskipun imunisasi bisa mencegah beberapa penyakit yang bisa mengarah kepada kedisabilitasan, tapi tidak kalah pentingnya untuk melakukan imunisasi yang bebas merkuri dan kadaluwarsa atau palsu kepada anak yang sudah terlanjur mengalami kedisabilitasan. Bila tidak diberikan imunisasi tsb diatas, maka anak-anak penyandang disabilitas berisiko mengalami hambatan perkembangan, kondisi sekunder yang bisa dihindari dan kematian yang bisa dicegah. Pemerintah Provinsi,Kota dan Kabupaten WAJIB memasukkan anak remaja dan dewasa penyandang disabilitas dalam usaha untuk mempromosikan layanan terapi yang berkesinambungan serta bersifat sangat urgent dan mendesak . Seperti meningkatkan kesadaran masyarakat dengan memperlihatkan mereka memiliki hak yang sama untak dapat  bersama-sama berusaha mandiri  sebagai  bagian masyarakat lainnya, kampanye poster dengan para pelayan kesehatan  dan talk show berkala  berisi materi promosi kesehatan mental,fisik dan sosial lainnya yang berkesinambungan.

Gizi juga merupakan hal penting. Makanan yang tidak mencukupi atau diet kekurangan vitamin atau mineral tertentu bisa menyebabkan bayi rentan terhadap kondisi-kondisi tertentu dan infeksi yang bisa menyebabkan disabilitas fisik, indra dan intelektual. Misalnya, antara 250.000 sampai 500.000 anak dianggap berisiko untuk menjadi buta setiap tahun karena kekurangan vitamin A. Sindrom ini bisa dengan mudah dicegah dengan suplementasi oral yang berharga hanya beberapa sen saja per anak. Di samping itu, langkah-langkah yang berbiaya rendah tersedia untuk mencegah disabilitas muncul dari kekurangan nutrisi lainnya. Gizi buruk dan penyakit diare sewaktu kecil bisa menyebabkan kekerdilan, yang diindikasikan oleh kurangnya tinggi badan menurut usia yang seharusnya dicapai oleh batita dan balita.

Meskipun gizi buruk bisa menjadi penyebab disabilitas, hal ini juga bisa menjadi akibat. Sesungguhnya, anak-anak penyandang disabilitas lebih berisiko untuk menderita gizi buruk. Rintangan fisik yang terkait dengan kondisi-kondisi seperti sumbing atau lumpuh otak (cerebral palsy 0 dapat mengganggu mekanisme konsumsi makanan; kondisi-kondisi tertentu seperti fibrosis sistik (cystic fibrosis), dapat mengganggu asupan gizi; dan beberapa bayi dan anak penyandang disabilitas mungkin memerlukan diet khusus atau asupan kalori untuk mempertahan-kan berat badan yang sehat. Namun anak penyandang disabilitas bisa saja disem-bunyikan dari penapisan masyarakat dan inisiatif pemberian makan. Anak-anak yang tidak bersekolah tidak mendapatkan program pemberian makan di sekolah. Di samping faktor-faktor fisik, sikap juga bisa sangat berpengaruh pada nutrisi anak. Di beberapa masyarakat, para ibu mungkin tidak didorong untuk memberikan ASI pada bayi penyandang disabilitas, anak penyandang disabilitas mungkin diberi makan sedikit, atau tidak diberi makan atau diberikan makanan yang kurang bergizi daripada saudaranya yang tidak penyandang disabilitas. Ada kemungkinan bahwa dalam beberapa hal apa yang dianggap sebagai penyakit yang terkait dengan disabilitas mungkin sesungguhnya berkaitan dengan masalah pemberian makan.

Pemerintah melalui seluruh OPD dan SKPD  TERKAIT yang menjadi pelaksana  administrasi penyaluran APBN dan APBD WAJIB menjangkau program yang berkesinambungan dan dapat dipertanggung-jawabkan akuntabilitasnya kepada  orang tua anak , remaja dan dewasa dengan kebutuhan khusus dan organisasi komunitas  keluarga penyandang disabilitas seperti Konsorsium  Anak-Remaja – Dewasa Penyandang Disabilitas, PORTADIN, Penguatan Taman Pos Yandu,FKKADK dan RBM  dimana sinergitas antar komponen bangsa ini akan sangat banyak membantu meningkatkan cakupan HAK  AZASI MANUSIA all mencakup imunisasi yang bebas dari zat kimia beracun dan terapi rehabilitasi para penyandang disabilitas yang kontinyu. Irisan lembaga non- struktural yang harus mendanainya adalah lembaga BazNas dan CSR BUMN  setiap Provinsi, Kota dan Kabupaten melalui Renstra Perencanaan Daerah (Bappeda Provinsi – Kota dan Kabupaten).

Di hampir semua negara berkembang, para penyandang disabilitas secara rutin menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu dalam mengakses air minum yang aman dan sanitasi dasar. Fasilitas seringkali tidak bisa diakses secara fisik, dan di beberapa tempat, fasilitas yang baru masih dirancang dan dibangun tanpa perhatian yang memadai untuk anak-anak penyandang disabilitas. Meskipun intervensi rendah biaya dan rendah teknologi seperti kakus jongkok semakin banyak tersedia, informasi tentang hal itu masih harus disebarluaskan dan dimasukkan dalam kebijakan dan praktek WASH. Rintangan-rintangan sosial juga menghambat akses. Anak-anak dengan disabilitas seringkali menghadapi stigma dan diskriminasi sewaktu menggunakan fasilitas rumah dan fasilitas umum, misalnya, karena adanya ketakutan yang tidak beralasan bahwa mereka yang mencemarinya. Apabila anak-anak penyandang disabilitas, terutama anak perempuan, dipaksa untuk menggunakan fasilitas terpisah, mereka berisiko mengalami kecelakaan atau serangan fisik, termasuk perkosaan. Anak-anak penyandang disabilitas mungkin tidak akan bersekolah karena menginginkan toilet yang bisa mereka akses; mereka seringkali menyatakan terpaksa mengurangi makan dan minum agar tidak terlalu sering ke toilet – yang dengan sendirinya akan membahayakan status gizi mereka.

darurat-keswa-2Anak-anak dan remaja penyandang disabilitas hampir seluruhnya diabaikan dalam program kesehatan reproduksi dan seksual dan program HIV/AIDS, karena mereka seringkali dianggap tidak aktif secara seksual, kecil kemungkinan untuk menggunakan  zat dan kurang berisiko terhadap kekerasan dibandingkan dengan teman-teman mereka yang tidak mengalami disabilitas. Banyak remaja penyandang disabilitas yang tidak mendapatkan bahkan informasi dasar tentang bagaimana tubuh mereka berkembang dan berubah, dan karena mereka sering diajarkan untuk diam dan patuh, mereka sangat berisiko untuk disalahgunakan. Akibatnya, mereka berisiko untuk terinfeksi HIV. Para penyandang disabilitas dari semua umur yang positif HIV berkemungkinan kecil akan mendapatkan pelayanan yang tepat dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tidak penyandang disabilitas, karena fasilitas dan program jarang sekali yang mempertimbangkan kebutuhan mereka.

Petugas pelayanan kesehatan tidak punya pelatihan khusus disabilitas. Karena anak berkembang sangat cepat selama tiga tahun pertama, deteksi awal dan intervensi sangatlah penting bagi anak-anak penyandang disabilitas. Penapisan perkembangan merupakan sebuah sarana yang efektif untuk mendeteksi disabilitas pada anak dan merujuk mereka ke penilaian dan intervensi selanjutnya; misalnya untuk mengobati kekurangan zat besi, memberikan obat anti epilepsi atau memberikan rehabilitasi berbasis masyarakat,  serta memberikan informasi penting bagi anggota keluarga. Intervensi-intervensi yang demikian sudah harus tersedia di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.

Deteksi dan pengobatan kecacatan bukanlah merupakan bidang pengobatan yang terpisah tapi merupakan aspek integral dari kesehatan publik sebagai bagian dasar kesejahteraan rakyat. Ketika pembuat kebijakan dan peneliti menggolongkan langkah-langkah ini secara bersaing diantara keilmuan masing-masing  untuk mendapatkan sumber daya dengan langkah-langkah untuk mempromosikan kesehatan para penyandang disabilitas melalui ilmu , psikologi , psikiatri dan ilmu kedokteran lainnya; mereka menimbulkan diskriminasi dan ketidaksetaraan. Pelayanan kesehatan yang ada untuk anak penyandang disabilitas mungkin buruk kualitasnya. Namun petugas kesehatan dan para profesional lainnya selalu memperoleh manfaat dari pendidikan tentang perkembangan anak dan disabilitas akan tetapi tidak  dilatih untuk memberikan pelayanan terpadu, Maka dari itu dengan partisipasi pengawasan HAK AZASI MANUSIA yang ketat dari  keluarga besar anak akan dapat meminimalisir pelanggaran kode etik keilmuan para pelayan ilmu kesehatan dan ilmu jiwa yang akan merugikan profesi pelayanan kesehatan itu sendiri .  (*)

*Penulis adalah: Wasekjen LemDik DPP Komite Nasional Pemantau Penerapan Otonomi Daerah Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Dari berbagai sumber dan hasil audiensi dengan Para Direktur RS Hasan Sadikin sebagai Rumah Sakit Tersier di Pemprov Jawa Barat dan Banten

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*