CIREBON – Camat Karangsembung, HI yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Pilkada karena dianggap mengarahkan kepala desa (Kuwu,red) se-Kecamatan Karangsembung untuk mendukung pasangan calon tertentu pada Pilkada Kabupaten Cirebon.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan, yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Sumber, Kamis (26/04/2018) majelis hakim yang dipimpin Setia Sri Mariana dan hakim anggota Budi Chandra Permana dan Jumadi Apri Ahmad memutuskan HI bersalah telah melanggar pasal 118 UU nomer 16 tahun 2016 tentang Pilkada dan dijatuhi hukuman 2 bulan penjara dan denda sebesar Rp. 6juta.
Humas Pengadilan Negeri Sumber, Jumadi April Ahmad mengatakan, majelis hakim memberikan waktu selama tiga hari kepada terdakwa dan juga jaksa penuntut umum untuk menerima atau tidak terhadap hasil putusan ini. “Kalau tidak ada upaya hukum dianggap sudah inkrah dan bisa langsung dieksekusi oleh pihak Kejaksaan,” kata Jumadi.
Dikatakan Jumadi, selama proses persidangan terdakwa tidak ditahan, namun setelah inkrah, maka terdakwa diwajibkan untuk menjalankan putusan dari pengadilan. (gfr)
Tidak aneh saya rasa. Setiap menjelang pilkada bahkan pemilu secara keseluruhan sudah menjadi rahasia umum banyak oknum pejabat/kepala daerah yang memanfaatkan wewenangnya untuk menggiring masyarakat luas yang berada didaerahnya untuk mendukung bahkan menyoblos pasangan yang dia dukung. Dimulai instruksi khusus ke bawahannya, sampai adanya tekanan politik tertentu. Tidak jarang PNS di daerah tersebut dijadika alat kampanye padahal sudah jelas posisi PNS harus netral. Poster paslon ‘dititipkan’ dinas-dinas tertentu untuk disebarkan ke masyarakat. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan. Tentu banyak sebab yang mendasarinya. Salah satunya adalah karena ‘politik balas budi’. Seseorang terpilih menjadi kepala daerah karena dukungan dari berbagai pihak salah satunya tentu partai politik yang mengusungnya. Ketika dia terpilih jadi kepala daerah tentu ‘ikatan batin’ dengan partai politik pengusungnya tidak bisa lepas begitu saja. Jika parpol yang menghantarkannya menuju kursi kekuasaan tersebut dalam kondisi ‘butuh bantuan’ tentu kepala daerah harus siap siaga mengikuti titah. alhasil tidak jika kekuasaannyapun dijadikan alat untuk membalas kebaikan parpol pengusungnya. Selama sistemnya seperti ini, demokrasi, maka ‘politik balas budi’ ini tidak akan pernah berhenti. jadi satu-satunya cara adalah ganti sistem dengan sistem Islam. Kenapa Islam? Karena dalam Islam tidak diberikan peluang sedikitpun untuk praktik seperti ini. Calon pemimpin yang dalam Islam disebut Kholifah diverifikasi berdasarkan 7 kriteria in’iqaad (syarat lega)yang tidak memerlukan adanya dukungan dari pihak manapun. Jika lulus verifikasi tersebut maka seseorang bisa jadi pemimpin (kholifah) dan sah akan baiatnya. Syarat tersebut yaitu : seorang muslim, harus seorang laki-laki, harus baligh, orang yang berakal, harus seseorang yang adil, merdeka, harus orang yang mampu menjalankan amanah kekhilafahan. Inilah sistem Islam yang mulia. Sistem buatan manusia tidak akan mampu menandinginya. Praktis dan tidak berbelit-belit. Solutif tanpa menimbulkan masalah baru. Jadi jika ingin kondisi negeri ini menjadi lebih baik maka saatnya ganti sistem dengan sistem Islam. wallahu ‘alam.