Home » Bandung » Sidang Kasus Penipuan Pengusaha Cirebon, Begini Kesaksian PT. Waskita Karya

Sidang Kasus Penipuan Pengusaha Cirebon, Begini Kesaksian PT. Waskita Karya

BANDUNG – Sidang kasus dugaan penipuan proyek pengadaan mengatasnamakan kerjasama dengan PT. Waskita Karya, dengan terdakwa Ir. BH, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa 2 Januari 2022. 

Dalam lanjutan sidang kali ini, saksi dari PT. Waskita Karya membenarkan terkait ketidak samaan dokumen kontrak kerjasama dengan PT. Waskita Karya yang diberikan terdakwa kepada korban, dengan dokumen kontrak yang biasa dikeluarkan atau dibuat oleh perusahaannya.

Untuk diketahui, dalam lanjutan sidang kali ini, dua saksi dihadirkan. Mereka adalah Hakim Nugraha, dari PT. Waskita Karya dan Haris Nur Muhamad, S.Ip, MM, MBA, menantu dari terdakwa. Namun Haris kemudian mengundurkan diri menjadi saksi, sehingga lanjutan sidang kali ini berjalan dengan saksi tunggal, yakni Hakim Nugraha dari PT. Waskita Karya.

Kasus dugaan penipuan ini sendiri dilakukan terdakwa Ir. BH kepada korban H. Oyo Sunaryo Budiman (Komisaris sekaligus penanggung jawab dan pemilik saham PT. Karya Kita Putra Pertiwi), dengan menawarkan proyek kerjasama dari PT. Waskita Karya berupa pengadaan material agregat jalan tol di Palembang, dengan nilai Rp 60 miliar. Saat itu, terdakwa meminta pinjaman modal kepada korban sebesar Rp 18 miliar, dengan iming-iming keuntungan dari pekerjaan itu dibagi dua, dan modal kerja akan kembali setelah proyek selesai.

Peristiwa terjadi di tahun 2018. Dan saat itu, korban mengajukan pinjaman modal ke BRI untuk proyek tersebut, dengan menjaminkan dokumen kontrak itu. Namun ternyata, janji melunasi tak kunjung terjadi. Pembayaran pinjaman ke BRI dengan mengatasnamakan PT. Karya Kita Putra Pertiwi pun macet. Kemudian, pihak BRI menelusuri kebenaran dokumen kontrak itu, hingga diketahui kalau dokumen kontrak tersebut diduga palsu. Korban, lantas menganggur melunasi pinjaman tersebut, hingga lunas.

Dalam kesaksiannya, Hakim Nugraha yang pada waktu peristiwa dugaan penipuan itu terjadi menjabat sebagai Administrasi Manager di divisi proyek jalan tol di Palembang itu, mengaku kalau PT. Waskita Karya, selama proyek tersebut tidak pernah ada perjanjian kontrak kerja dengan PT. Karya Kita Putra Pertiwi. Bahkan, dia juga menyatakan kalau dokumen kontrak yang ada pada terdakwa, kemudian diberikan kepada korban untuk permodalan, wujudnya tak sama dengan dokumen kontrak yang biasa dibuat atau dikeluarkan oleh PT. Waskita Karya.

“Saudara sebagai administrasi manager pada divisi di proyek tersebut. Dari kasat mata yang saudara lihat, apakah dokumen kontrak kerja ini sama dengan yang biasa dibuat atau dikeluarkan oleh PT. Waskita Karya?” tanya Ketua Majelis Hakim, H. Sucipto, SH, kepada saksi Hakim Nugraha.

“Tidak. Itu tidak sama. Banyak perbedaan. Seperti penempatan logo, alamat email, nomor kontak, bahkan penulisan jabatan dalam kontrak juga salah,” ucap saksi Hakim Nugraha.

Hakim menjelaskan, dalam dokumen kontrak yang dikeluarkan PT. Waskita Karya, penandatangan bukan atas nama jabatan kepala cabang. Melainkan kepala divisi. Dan saat itu (proyek jalan tol di Palembang tahun 2018), kepala divisi 6 bukan atas nama Haris Nur Muhamad, S.Ip, MM, MBA. 

“Saat itu kepala divisinya bermana Gunadi. Saya tidak begitu kenal dengan Pak Haris, hanya mengetahui namanya, karena memang saat itu beliau pernah bertugas di divisi 6 yang merupakan induk dari projek tersebut,” lanjut saksi Hakim Nugraha.

Pada ulasan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa Ir. BH, melakukan tindak penipuan dan penggelapan terhadap H. Oyo, pengusaha asal Cirebon, melalui pekerjaan proyek yang seolah datang dari PT. Waskita Karya, dengan memalsukan dokumen kontrak berkop surat Waskita Karya, bertandatangan pejabat direktur Waskita Karya Cabang Palembang.

“Bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat, ataupun serangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang. Perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara di bawah ini,” ujar JPU saat membacakan dakwaannya.

Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan terdakwa, lanjut JPU, terjadi pada tahun 2018. “Berawal dari terdakwa menghubungi saksi korban H. Oyo Sunaryo Budiman sebagai Komisaris Utama PT. Karya Kita Putra Pertiwi sekaligus penanggung jawab dan pemilik saham di perusahaan tersebut, pada bulan April 2018,” ucap JPU.

Dipaparkan JPU dalam dakwaannya, saksi korban, H. Oyo dengan terdakwa, memang sudah saling mengenal dan berhubungan baik, sejak tahun 2009. Itu karena terdakwa sering menemani saksi korban mengurus proyek di kantor Balai Besar Wilayah Sungai Cimanuk.

“Saat itu, terdakwa menawarkan saksi korban untuk kerjasama proyek pengadaan material agregat jalan tol di Palembang. Yang mana terdakwa menawarkan jalan kerjasama dengan PT. Waskita Karya yang lokasi berada di Pelembang, Sumatera Selatan,” lanjut JPU.

Dilanjutkan JPU, bentuk penawaran proyek tersebut dilakukan melalui telepon antara terdakwa dengan saksi korban. Saat itu, terdakwa mengatakan kalau dirinya sudah melakukan kerja sama untuk proyek tersebut dengan nilai Rp30 miliar, dengan volume pekerjaan sebesar 180.000 M3 pengadaan agregat.

“Dan saat itu, terdakwa juga mengatakan bahwa pejabat Direktur PT Waskita Karya Cabang Pelembang adalah menantunya yang bernama Haris Nur Muhamad, S.Ip, MM, MBA, yang telah memberikan pekerjaan kepada terdakwa,” tambah JPU.

Saat itu, terdakwa menjanjikan jika bekerja sama akan enak dan setiap bulan akan menerima keuntungan 6% yang nantinya dibagi dua dengan dirinya, juga dia akan menanggung atas bunga bank 1,5% dan juga biaya provisi.

“Saksi korban kemudian menanyakan dokumen kontraknya, dan dijawab ada. Kemudian terdakwa bilang akan segera mengirimkannya ke kantor saksi korban di Cirebon, secepatnya,” kata JPU.

Selang beberapa hari, berkas kontrak itu dikirimkan ke kantor saksi korban di Cirebon. Dalam berkas itu, tertera nilai kontrak sebesar Rp30 miliar lebih. Dan selanjutnya terdakwa menghubungi saksi korban lagi via telepon, bilang terkait masalah permodalan untuk proyek tersebut yang nilainya antara Rp18 miliar sampai Rp25 miliar.

Kemudian, atas permasalahan permodalan tersebut saksi korban akan dicoba meminjam ke BRI. Setelah diajukan pinjaman ke BRI, pihak bank tak bisa memberikan pinjaman modal sebesar Rp18 miliar sampai Rp25 miliar, karena nilai kontrak Rp30 miliar lebih. 

Saksi korban kemudian menghubungi terdakwa terkait itu. Lalu dijelaskan bahwa pihak bank bisa memberikan pinjama modal sebesar Rp18 miliar sampai Rp25 miliar kalau nilai kontraknya di atas Rp60 miliar. 

Terdakwa pun menyanggupi. Dan dengan inisiatif sendiri, terdakwa membuat surat perjanjian kontrak nomor 153/SP/WK/X.VI/2018 bertempat di Palembang tertanggal 18 April 2018.

“Terdakwa juga membuat kop surat PT. Waskita Karya sendiri, juga menandatangani sendiri tanda tangan Direktur PT. Waskita Karya Cabang Palembang, yang disebut terdakwa merupakan menantunya itu,” ujar JPU.

Pinjaman modal di-ACC BRI, sebesar Rp 18.346.000.000. Uang itu kemudian oleh H. Oyo diserahkan kepada terdakwa. Namun sampai akhir pekerjaan selesai (seperti yang tertera pada dokumen kontrak) pada 30 November 2018, BH tidak bisa melunasi pinjaman kepada BRI.

Hingga akhirnya, saksi korban yang harus melunasi utang tersebut, karena saat meminjam menggunakan atas nama perusahaannya. “Saksi korban menderita kerugian sebesar Rp 18,4 miliar lebih. Atas perbuatannya itu, JPU menerapkan Pasal 372 KUHPidana dan Pasal 378 KUHPidana. (red/jp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*