CIKARANG SELATAN – BPN Kabupaten Bekasi mengadakan sosialisasi program Layanan Rakyat Bersertifikat Tanah (Larasita) di Desa Pasirsari, Kecamatan Cikarang Selatan. Melalui kegiatan ini, diharapkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat dapat membantu warga sekitar yang belum menikmati program Pemerintah tersebut.
“Kemauan dari warga Pasirsari terhadap program Larasita tidak lain adalah Pemerintah harus benar-benar peduli,” ucap Ketua RT 16, Kampung Pair Konci, Desa Pasirsari, Jalak, usai menghadiri konsultasi kegiatan Larasita oleh BPN setempat yang berlangsung di Aula desa.
Kedatangan sejumlah pegawai BPN pada agenda itu berdasarkan pengajuan kantor desa setempat yang notabene masyarakatnya belum mendapat kegiatan Larasita.
Menurut Jalak, rata-rata warga dilingkungannya merupakan warga tidak mampu yang keterbatasan anggaran untuk pembuatan sertifikat. “Ada sekitar 10 orang lebih yang belum memiliki akte jual beli (AJB),” katanya.
Dalam hal ini masyarakat Pasir Sari pun hanya memiliki girik dan tanah adat. Saat disinggung soal apakah BPN Kabupaten Bekasi sudah sebelumnya sosialisasi tentang kegiatan Larasita, menurutnya, belum ada sosialisasi dari lembaga terkait. “Baru-baru ini diadakan pertemuan dengan BPN atas usulan kepala desa. Kalau program Prona maupun Ajudivikasi udah berlangsung di desa ini,” katanya.
Semetara itu, Kepala Desa Pasirsari mengakui masih banyak warganya yang belum memiliki sertifikat. “Saya masih mengumpulkan data-data sejumlah warga yang tidak bersertifikat, namun masih girik maupun AJB,” kata Lamzah Hertansyah.
Saat ini, BPN Kabupaten Bekasi baru melayani kegiatan Larasita (Layanan malam hari) sebanyak 27 desa dari 180 desa. Adapun kegiatan ini dilakukan pada minggu ke tiga setiap bulannya dengan menggunakan 1 unit mobil Larasita. Hal tersebut dilakukan guna menghindari percaloan.
Diketahui, Larasita merupakan layanan pertanahan bergerak (mobile land service) yang bersifat pro aktif atau “jemput bola” ke tengah-tengah masyarakat. Sebagai sebuah kebijakan inovatif, kelahiran Larasita dilandasi keinginan pemenuhan rasa keadilan yang diperlukan, diharapkan, dan dipikirkan oleh masyarakat, serta adanya kesadaran bahwa tugas-tugas berat itu tidak akan bisa diselesaikan hanya dari balik meja kantor tanpa membuka diri terhadap interaksi masyarakat yang kesejahteraannya menjadi tujuan utama pengelolaan pertanahan.
Guna untuk menjawab kebutuhan berinteraksi dengan masyarakat tersebut, dilahirkan sebuah interface baru. Sebuah interface yang didesain bukan hanya untuk memberikan layanan administratif pertanahan, tetapi juga melakukan penyiapan masyarakat dalam pelaksanaan reforma agraria, mendampingi dan memberdayakan masyarakat dalam konteks pertanahan, melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah terlantar, melakukan pendeteksian awal atas tanah-tanah yang diindikasikan bermasalah, memfasilitasi penyelesaian tanah bermasalah yang mungkin diselesaikan di lapangan, menyambungkan program Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan aspirasi yang berkembang di masyarakat dan meningkatkan dan mempercepat legalisasi aset tanah masyarakat.
Sebuah interface yang bukan sekedar memungkinkan, tetapi harus bisa menyentuh masyarakat tidak hanya dengan regulasi, tetapi benar-benar bersentuhan secara fisik untuk kemudian secara psikis bisa mengerti tentang apa yang dibutuhkan, dipikirkan, dan dirasakan rakyat. (tle)