BANDUNG – Pemda Provinsi Jawa Barat akan menjadikan desa-desa di Jawa Barat menjadi basis untuk menyelesaikan permasalahan kependudukan di Jawa Barat. Dalam hal ini peran BKKBN akan diperkuat untuk memperluas serta memperkuat implementasi program pengendalian penduduk seperti KB.
Fertilitas atau pengendalian kependudukan Jawa Barat ada di angka 2,6 pada 2016 lalu. Saat ini ada di angka 2,4.
Tidak hanya KB atau masalah pengendalian penduduk, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jawa Barat Iwa Karniwa juga meminta agar desa mengalokasikan anggaran untuk meningkatkan pemahaman kepada masyarakat desa. Selain fertilitas atau masalah pengendalian penduduk, masalah lain seperti kesehatan ibu dan anak juga peningkatan ekonomi masyarakat desa perlu mendapat perhatian.
“Kita akan mendorong untuk bagaimana supaya 5.635 desa yang menjadi basis perjuangan BKKBN itu turut masing-masing desa membantu terhadap program KB. Dimana dalam APBD anggaran belanja desa, bantuan keuangan – baik itu dari (Pemerintah) Pusat maupun (Pemerintah) Provinsi itu cukup meningkat,” kata Iwa ketika ditemui awak media usai hadir dalam acara Seminar Hari Kependudukan Dunia yang digelar BKKBN Jabar di Hotel Grand Tjokro, Jl. Cihampelas Kota Bandung, Selasa (28/8/2018).
“Makanya salah satu cara untuk bagaimana supaya permasalahannya sama, persepsinya sama, bahwa desa dijadikan suatu basis hubungan untuk menyelesaikan berbagai masalah kependudukan maka diadakan seminar saat ini,” lanjutnya.
Sementara itu, baru ada 15% desa di Jabar mengalokasikan anggarannya untuk kependudukan. Untuk itu, Pemda Provinsi Jawa Barat akan terus membantu BKKBN untuk meningkatkan kualitas SDM masyarakat desa. BKKBN akan menyeleksi 2.000 masyarakat atau tokoh masyarakat desa untuk menjadi penyuluh KB dan PKH. Angaran yang dikucurkan mencapai Rp 27 Miliar.
“Ini salah satu bentuk konkrit mendukung membantu penyelesaian sebagian permasalahan yang indikatornya fertilitasnya masih tinggi. Sekarang Alhamdulillah sudah 2,4,” kata Iwa.
Senada dengan Iwa, Kepala Perwakilan BKKBN Jawa Barat Sukaryo Teguh Santoso mengatakan, bahwa memang perlu peran serta para tokoh atau ulama untuk masalah pengendalian penduduk di Jabar. Peran tokoh masyarakat ini dirasa akan efektif untuk mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur.
“Makanya perlu peran serta para tokoh atau ulama yang dirasa efektif untuk mencegah terjadi pernikahan di bawah umur. Para tokoh ini diharapkan bisa memberikan pemahaman,” ujar Teguh.
Teguh juga mengungkapkan permasalahan fertilitas di Jawa Barat terutama di Jabar Selatan disebabkan pernikahan di bawah umur. Selain itu, faktor budaya juga menjadi penyebab masalah fertilitas ini.
“Permasalahan fertlitas di Jabar Selatan yang disebabkan oleh usia kawin yang masih muda. Kalau di Jawa Barat (secara keseluruhan) sudah mendekati angka 20 (tahun). Sudah bagus sebenarnya tapi di beberapa kabupaten masih di bawah angka 20, seperti Cianjur itu rata-rata yang 18. Tapi rata-rata masih ada juga yang 16,” tukas Teguh.
“Jadi lebih ke budaya, orang yang tidak kawin dikatakan perawan jomblo, misalnya seperti itu,” imbuhnya.
Jawa Barat menargetkan angka fertilitas kembali turun di angka 2,2 pada 2019 mendatang. Teguh optimis hal ini bisa tercapai, terlebih dengan komitmen yang telah diberikan Pemda Provinsi Jawa Barat. Apabila fertilitas ada di angka 2,2 artinya satu orang warga Jawa Barat rata-rata memiliki dua orang anak.
“Insyaallah kalau komitmennya seperti yang disampaikan Pak Sekda, Insyallah kita akan capai. Apalagi Pemda Provinsi Jawa Barat mengalokasikan anggaran kepada dua ribu tenaga penggerak desa, yang itu di Indonesia hanya di Jawa Barat. Provinsi lain ga ada,” pungkasnya. (rls/hms)