Home » Headline » Belajar dari Tragedi Ponpes Al Khoziny: 61 Nyawa Melayang, Proses Hukum Tetap Berjalan

Belajar dari Tragedi Ponpes Al Khoziny: 61 Nyawa Melayang, Proses Hukum Tetap Berjalan

SIDOARJO — Tragedi ambruknya musala di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, yang menewaskan 61 santri dan meninggalkan duka mendalam, memunculkan perdebatan serius antara tafsir keagamaan dan tanggung jawab hukum.

Sejumlah wali santri memilih untuk tidak menuntut pihak pesantren, menyebut musibah tersebut sebagai “takdir Allah”. Sementara, para pengamat agama dan pakar hukum menegaskan bahwa konsep takdir tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindari tanggung jawab atas dugaan kelalaian.

“Takdir tidak bisa dijadikan tameng,” tegas Ismail Al-A’lam, peneliti dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina. “Dalam Islam, manusia diperintahkan untuk berikhtiar dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Tidak bisa hanya menyerahkan semuanya pada takdir.”

Statment Keluarga Santri

Sebagian keluarga korban memilih pasrah. Lina, orang tua salah satu santri asal Jawa Barat, menganggap kematian anaknya sebagai bentuk kesyahidan. “Ini musibah, bukan kelalaian. Kami tidak ingin menyalahkan siapa pun,” ujarnya lirih.

Namun ada juga yang tetap menuntut agar kasus ini diproses secara hukum. Fauzi (48), yang kehilangan empat keponakannya, menilai bangunan ponpes tidak memenuhi standar keamanan dan menyoroti dugaan eksploitasi santri dalam pembangunan.

Ia meminta aparat tidak berhenti pada evakuasi, tapi menindak tegas pihak bertanggung jawab, termasuk pengurus ponpes. “Status sosial tak boleh menghalangi hukum,” tegasnya.

Pengasuh Pesantren: “Takdir Allah, Semua Harus Bersabar”

KH Abdus Salam Mujib, pengasuh Ponpes Al Khoziny, menyampaikan permohonan maaf dan menyebut kejadian itu sebagai “takdir Allah”. Namun, pernyataannya menuai kritik karena dianggap berpotensi mengaburkan tanggung jawab moral maupun hukum.

“Pernyataan seperti itu bisa menjadi bentuk penghindaran tanggung jawab,” kata Ismail Al-A’lam. “Dalam konteks sosial dan keagamaan, ini berbahaya karena bisa memperkuat relasi kuasa yang timpang antara pengasuh pesantren dan wali santri.”

Pakar Hukum: “Harus Ada Penindakan, Ini Bukan Delik Aduan”

Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, menilai kepolisian wajib menindaklanjuti kasus ini meski tanpa adanya laporan dari keluarga korban.
“Sebab ini bukan delik aduan,” ujarnya. “Korban mencapai puluhan jiwa, maka harus ada proses hukum agar tidak terulang.”

Pendapat serupa disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Eva Achjani Zulfa. Ia menyebut bahwa kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa merupakan tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 359 KUHP.

“Pembangunan tanpa izin dan tidak sesuai kaidah teknis harus dikoreksi. Kalau tidak, nyawa anak-anak santri akan terus jadi taruhannya,” ujar Eva.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa proses hukum terhadap figur ulama berpotensi memicu ketegangan sosial. Karena itu, pendekatan restorative justice bisa menjadi opsi — misalnya dengan penutupan sementara pondok hingga semua aspek keamanan dan perizinan diperbaiki.

Polisi: Penyelidikan Dimulai Setelah Evakuasi Rampung

Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Jules Abraham Abast, menyampaikan bahwa penyelidikan kasus akan dilakukan setelah proses evakuasi dan pembersihan puing tuntas.
“Setelah lokasi benar-benar bersih dan tidak ditemukan korban tambahan, barulah proses penyelidikan dimulai,” ujarnya.

Polda Jatim juga memastikan akan memeriksa seluruh pihak terkait, termasuk pengurus pesantren dan pihak yang terlibat dalam pembangunan gedung musala tersebut.

Eksploitasi dan Ketimpangan Kuasa

Di balik tragedi ini, muncul pula sorotan terhadap relasi kuasa yang timpang antara pengasuh pesantren dan para wali santri. Banyak dari mereka berasal dari keluarga desa dengan ekonomi lemah dan tingkat pendidikan rendah — sehingga cenderung menerima penjelasan keagamaan tanpa mempertanyakan aspek tanggung jawab.

Dalam konteks yang lebih luas, para pengamat menilai fenomena ini menggambarkan bentuk eksploitasi keimanan dan ketaatan, di mana otoritas agama dapat dengan mudah menutupi kelalaian manusia dengan dalih takdir. (tim jp)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*