Home » Cirebon » Jejak Gelap Pajak Desa: Empat Pendamping Masuk Bui Gara-gara Korupsi

Jejak Gelap Pajak Desa: Empat Pendamping Masuk Bui Gara-gara Korupsi

CIREBON – Bagi sebagian perangkat desa di Kabupaten Cirebon, sosok tenaga pendamping desa adalah mitra yang dipercaya. Mereka dianggap paham aturan, piawai soal teknis, dan mampu menjembatani urusan administrasi yang sering kali bikin kepala pening. Namun, kepercayaan itu kini berubah jadi luka.

Empat orang pendamping desa—SM dari Sedong, MY dari Arjawinangun, DS dari Kedawung, dan SLA dari Karangsembung—ditetapkan sebagai tersangka. Kejaksaan Negeri Kabupaten Cirebon menyebut mereka terlibat skema korupsi pengelolaan pajak desa dengan nilai kerugian negara hampir Rp2,9 miliar.

“Para pendamping itu justru memanfaatkan posisi kepercayaan untuk mengeruk keuntungan pribadi,” ujar Kepala Kejari Cirebon, Yudhi Kurniawan.


Dari “Jasa Cepat” ke Jurang Korupsi

Kisahnya berawal dari tawaran manis: layanan pembayaran pajak desa yang cepat, lengkap dengan bukti resmi. Beberapa kepala desa mengaku lega karena urusan pajak—yang biasanya rumit—seakan bisa ditangani dengan mudah.

Pendamping desa menawarkan jaminan, bahkan berani menyatakan siap menanggung risiko bila kelak ada masalah. Sebagian perangkat desa pun luluh.

Tapi di balik janji itu, penyidik menemukan pola yang sama. Para tersangka meminta data sensitif: mulai dari e-billing, dana pembayaran, hingga akses akun pajak DJP Online. Semua informasi itu kemudian dialirkan kepada seorang saksi berinisial M.

Sebagai “kompensasi”, para pendamping mendapat cashback hingga 10% dari setiap transaksi. Namun, uang yang seharusnya masuk ke kas negara tidak pernah utuh. Audit resmi memperlihatkan hanya sebagian kecil pajak yang benar-benar disetorkan.


Luka yang Menganga

Praktik ini berjalan selama tiga tahun, sejak 2019 hingga 2021. Total kerugian negara mencapai Rp2,92 miliar. Angka itu bukan sekadar nominal; ia berarti jalan desa yang tak teraspal, balai warga yang tak kunjung berdiri, hingga fasilitas umum yang mangkrak.

“Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga soal keadilan bagi warga desa,” tegas Yudhi.

Kini, keempat pendamping desa tersebut mendekam di Rutan Kelas I Cirebon. Mereka dijerat pasal berlapis dari UU Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman penjara seumur hidup.


Benang yang Belum Tuntas

Penyidik masih menelusuri aliran dana dan peran saksi M, yang diduga menjadi simpul utama distribusi uang. Pertanyaan besar pun menggantung: apakah hanya empat orang itu yang terlibat, atau ada jejaring lebih luas yang bermain di balik layar?

Kejaksaan memastikan, penyidikan tidak berhenti pada mereka. “Siapa pun yang terbukti ikut menikmati hasil korupsi, akan dimintai pertanggungjawaban,” kata Yudhi.

Bagi desa-desa di Cirebon, kasus ini menjadi pengingat pahit: kepercayaan adalah aset mahal. Ketika yang dipercaya justru berkhianat, dampaknya bisa jauh melampaui angka di laporan audit. Ia merampas masa depan warga desa yang seharusnya bisa menikmati hasil pembangunan. (jay)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*